Melawan Lupa: Salim Kancil dan Perjuangannya yang Terus Hidup
Oleh: AT Wardhana
Sembilan tahun sudah berlalu sejak tragedi yang menimpa Salim Kancil, seorang petani sederhana yang menjadi korban kekejaman tambang pasir ilegal. Hingga saat ini, luka yang ditinggalkan oleh peristiwa itu masih terasa dalam, terutama bagi keluarganya dan mereka yang terus memperjuangkan keadilan atas namanya. Kisah ini adalah pengingat pahit bagi kita semua tentang betapa rapuhnya perlindungan bagi mereka yang berani melawan ketidakadilan. Tapi yang lebih memilukan adalah betapa lambatnya keadilan datang, bahkan setelah nyawa telah terenggut secara tragis.
Saya masih ingat jelas saat pertama kali membaca berita tentang Salim Kancil. Bagi banyak dari kita yang tinggal di perkotaan, mungkin sulit membayangkan situasi seperti itu: seorang petani yang hidup damai di desanya, tiba-tiba harus menghadapi ancaman besar dari penambangan pasir ilegal. Di Desa Selok Awar-Awar, Jawa Timur, Salim Kancil bersama beberapa warga lainnya dengan berani menolak kegiatan penambangan yang mereka tahu akan merusak lingkungan dan mata pencaharian mereka. Tapi siapa sangka, keberanian yang seharusnya diapresiasi, justru dibalas dengan kekerasan yang begitu kejam.
Salim Kancil dipukuli hingga tewas oleh sekelompok orang yang diduga kuat adalah kaki tangan penambang ilegal. Yang membuat saya semakin tidak habis pikir, beberapa dari mereka yang terlibat dalam kekerasan itu adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan di desa, bahkan perangkat desa itu sendiri. Bagaimana bisa ini terjadi? Bagaimana mungkin seseorang yang seharusnya melindungi masyarakat justru menjadi pelaku kejahatan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala saya saat saya mengikuti perkembangan kasus ini.
Sebagai orang yang peduli pada isu lingkungan, saya merasa sangat marah dan sedih. Mungkin saya tidak pernah secara langsung terlibat dalam perjuangan melawan penambangan ilegal, tetapi saya tahu betul betapa pentingnya menjaga kelestarian alam dan hak masyarakat lokal untuk hidup di tanah mereka sendiri. Kasus ini membuka mata saya bahwa apa yang tampaknya jauh dan tidak relevan bagi sebagian orang, sebenarnya bisa sangat mematikan bagi mereka yang langsung terdampak.
Saya teringat satu momen di mana saya benar-benar merasa frustrasi dengan penegakan hukum di negara ini. Setelah Salim Kancil tewas, butuh waktu yang cukup lama bagi aparat untuk menindak para pelaku. Saya berpikir, "Kenapa bisa lambat sekali? Apakah kasus ini akan tenggelam begitu saja?" Di Indonesia, kita sudah sering mendengar tentang kasus-kasus yang menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas, terutama jika melibatkan orang-orang yang punya kuasa. Tetapi di kasus Salim Kancil, ada sedikit harapan saat beberapa pelaku akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman. Meski demikian, rasanya tidak cukup. Hukuman yang diberikan kepada mereka tidak setimpal dengan hilangnya nyawa dan kerusakan yang telah terjadi di desa itu.
Ini membawa saya ke pelajaran penting lainnya dari tragedi ini: kita tidak boleh menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita, bahkan jika itu tampaknya tidak langsung mempengaruhi kita. Banyak orang yang berpikir bahwa masalah tambang ilegal hanya urusan warga desa, tetapi dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas seperti ini sangat luas. Ketika satu daerah rusak, efeknya bisa meluas ke mana-mana, merusak ekosistem dan bahkan mengancam kehidupan generasi mendatang. Sayangnya, banyak dari kita yang sering kali tidak peduli, setidaknya sampai kerusakan itu benar-benar terasa dekat dengan kita.
Dari pengalaman ini, saya mulai bertanya-tanya, "Apa yang bisa saya lakukan?" Saya tidak memiliki kekuatan besar atau posisi yang bisa langsung mengubah keadaan, tetapi saya belajar bahwa ada hal-hal kecil yang bisa saya lakukan, seperti menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran. Saya mulai lebih aktif menulis dan berbagi tentang pentingnya menjaga lingkungan, terutama di media sosial. Saya percaya bahwa, meskipun suara saya kecil, jika kita bersatu, kita bisa membawa perubahan. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berbicara, sama seperti yang dilakukan Salim Kancil. Dan ya, saya tahu itu terdengar klise, tapi begitulah kenyataannya.
Mengenang kasus Salim Kancil juga membuat saya lebih sadar tentang betapa besar peran korupsi dalam masalah seperti ini. Korupsi di tingkat lokal memungkinkan penambang ilegal untuk beroperasi dengan bebas, sementara masyarakat dibiarkan menderita. Korupsi yang berakar kuat ini memerlukan tindakan tegas, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Saya jadi berpikir, mungkin jika tidak ada korupsi di desa itu, Salim Kancil masih bisa hidup dan bekerja di tanahnya dengan tenang. Tapi kenyataannya, kejahatan korupsi ini telah merenggut lebih dari sekadar sumber daya alam; ia telah merenggut nyawa.
Sembilan tahun telah berlalu, dan meskipun beberapa pelaku sudah dijatuhi hukuman, kita tidak bisa mengatakan bahwa keadilan telah sepenuhnya ditegakkan. Keadilan, dalam arti yang lebih luas, adalah memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak akan terulang lagi. Ini berarti memberdayakan masyarakat untuk melindungi lingkungan mereka, memberantas korupsi di tingkat akar rumput, dan memastikan bahwa suara rakyat kecil tidak lagi diabaikan. Apakah ini mungkin tercapai? Saya tidak tahu pasti, tapi saya yakin bahwa selama masih ada orang-orang yang peduli dan berani, harapan itu selalu ada.
Sembilan tahun setelah kasus ini, saya ingin kita tidak melupakannya. Karena jika kita melupakannya, bukan hanya Salim Kancil yang kita biarkan terkubur dalam sejarah, tetapi juga semua nilai yang dia perjuangkan: keadilan, keberanian, dan cinta terhadap tanah air. Kalau dipikir-pikir, mungkin apa yang paling menakutkan bukanlah para penambang ilegal atau koruptor, tapi bagaimana mudahnya kita, sebagai masyarakat, melupakan.
Dan sejujurnya, itu yang paling ingin saya hindari—melupakan.