Djohan Effendi: Profil Seorang Pemikir dan Aktivis Cendekiawan

Djohan Effendi

Djohan Effendi adalah seorang intelektual yang memiliki perjalanan hidup yang penuh dengan pengalaman berharga. Lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 1 Oktober 1939, Djohan tumbuh sebagai anak sulung dari lima bersaudara dari pasangan Haji Mulkani dan Hajjah Siti Hadijah. Kehidupan keluarganya yang penuh inspirasi dan nilai-nilai agama telah membentuk karakter dan pemikirannya sejak dini.

Latar Belakang Keluarga

Dalam keluarga Djohan, nilai-nilai agama selalu menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Ayahnya, Haji Mulkani, adalah seorang pedagang yang juga aktif dalam organisasi Sarekat Islam. Dia rajin membaca majalah-majalah Islam dan berkontribusi dalam meningkatkan pemahaman agama dalam keluarga mereka. Sementara itu, ibunya, seorang qari'ah yang tekun, juga berperan penting dalam pembentukan pemahaman agama Djohan.

Kedua belah pihak keluarganya memiliki sejarah perdagangan yang kaya. Ayahnya, Haji Mulkani, adalah anak tertua dari pasangan Haji Masri dan Hajjah Moerdiah, sementara ibunya, Hajjah Hadijah, adalah anak bungsu dari pasangan Haji Mansuri dan Hajjah Zahrah. Keluarga neneknya, Hajjah Zahrah, memiliki sejarah panjang di Mekkah, di mana mereka memiliki rumah-rumah yang disewakan kepada jama'ah yang datang dari Kalimantan selama musim haji.

Orang tua dari ibunya, Haji Mansuri dan Hajjah Siti Zahrah, juga merupakan keluarga pedagang yang aktif di Singapura, Johor, dan Pulau Penang. Mereka bahkan memiliki perkebunan karet di Batu Pahat, Johor, Malaysia. Kakeknya, Haji Mansuri, adalah seorang yang cukup terkenal di Singapura. Semua ini menciptakan latar belakang keluarga yang kaya akan budaya perdagangan dan pengalaman lintas budaya.

Kehidupan Pribadi dan Keluarga

Djohan Effendi menikahi Siti Solichah, dan pasangan ini telah bersama selama bertahun-tahun. Pernikahan mereka telah diberkahi dengan tiga anak, dua perempuan, Winda Artensia dan Yorna Febriana, serta satu laki-laki, Rayvan Adigordha. Djohan dan Solichah adalah pasangan yang sederhana dan tegas dalam nilai-nilai mereka. Mereka mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, menciptakan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai hidup yang sederhana dan berkecukupan.

Kehidupan mereka di usia tua dipenuhi dengan kebahagiaan, karena mereka memiliki delapan cucu yang hadir dalam kehidupan mereka. Kebersamaan dengan anak-anak dan cucu-cucu adalah salah satu aspek yang membawa kebahagiaan dalam masa tua Djohan Effendi dan Solichah.

Karier dan Pengaruh Politik

Dalam karier dan pengaruh politiknya, Djohan Effendi memiliki perjalanan yang panjang dan beragam. Dia menduduki berbagai posisi penting selama masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beberapa posisi yang pernah dia pegang antara lain:

1. Pegawai Departemen Agama Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962).

2. Staf Sekretaris Jenderal Departemen Agama Jakarta (1972-1973).

3. Staf Pribadi Menteri Agama (1973-1978).

4. Peneliti Utama Departemen Agama (sejak 1993).

5. Staf Khusus Sekretaris Negara atau Penulis Pidato Presiden (1978-1995).

6. Kepala Badan Riset dan Pengembangan Departemen Agama (1998-2000).

7. Menteri Sekretaris Agama (2000-2001).

Pengaruh lingkungan keluarga dan pendidikan awalnya telah membentuk pemikiran dan nilai-nilai agama yang kuat dalam dirinya. Lingkungan keluarganya yang kaya akan tradisi perdagangan dan budaya agama telah memberinya fondasi yang kokoh untuk menghadapi tantangan karier dan perjalanan politiknya.

Pengaruh Lingkungan Sekolah dan Organisasi

Pendidikan awal Djohan Effendi di Sekolah Rendah Islam Petang atau Sekolah Arab telah memulai ketertarikannya pada buku-buku agama. Namun, perjalanan intelektualnya benar-benar berkembang ketika dia melanjutkan studinya di Pendidikan Agama Islam Pertama (PGAP). Di sini, ia belajar tentang politik dari seorang guru bahasa Arab yang juga seorang aktivis, Muzakkir, yang kemudian menjadi tokoh aksi demonstrasi besar di IAIN Jakarta pada tahun 1963.

Selama masa pendidikannya di PGAP, Djohan mulai membaca buku-buku agama yang lebih mendalam dan bergabung dalam diskusi aliran Ahmadiyah. Meskipun dia memiliki pertentangan pemikiran dengan aliran ini, bacaan-bacaan Ahmadiyah memberinya wawasan yang kaya tentang Islam dan membantu merentangkan pemikiran agamanya.

Setelah menyelesaikan studi di PGAP, Djohan melanjutkan ke Yogyakarta untuk belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri. Di sini, dia menjadi bagian dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan aktif dalam mengembangkan wacana pemikiran yang luas. Namun, perbedaan pendekatan pemikiran antara Djohan dan HMI akhirnya membuatnya keluar dari organisasi ini pada tahun 1969.

Bersama dengan teman-temannya, seperti Ahmad Wahib dan Dawam, Djohan Effendi membentuk kelompok diskusi bernama "Limited Group." Inilah tempat di mana pemikiran mereka yang inovatif dan kontroversial bisa tumbuh tanpa pembatasan. Mereka membawa diskusi pemikiran yang melampaui batasan-batasan yang ada di HMI dan menggagas gagasan-gagasan seperti sekularisasi, modernisasi, dan westernisasi.

Kesimpulan

Djohan Effendi adalah seorang cendekiawan dan aktivis dengan pengalaman hidup yang luar biasa. Latar belakang keluarga dan pendidikan awalnya membentuk karakter dan pemikirannya yang kuat. Karier politiknya yang beragam dan peran aktifnya dalam berbagai organisasi mencerminkan komitmen pada nilai-nilai agama dan perjuangan intelektual. Melalui pengaruh lingkungan keluarga, pendidikan, dan lingkungan sekolah dan organisasi, Djohan Effendi telah menjadi figur penting dalam sejarah pemikiran dan aktivisme di Indonesia.